POSMETRO INFO - Begitu menyebut Republik Islam Iran, persepsi kebanyakan orang akan meruncing menyatakan bahwa negara yang terletak di Asia Barat Daya ini, ini 100 persen penduduknya bermazhab Syiah.
Padahal, menurut tokoh Sunni terkemuka asal Bandar Abbas, selatan Iran, Habib Syekh al-Islam, Sayyid Abd al-Baits Qitaly, komunitas Muslim Sunni juga berdomisili di Iran, terutama di daerah-daerah perbatasan.
Populasi Muslim Sunni di negara beribukotakan Teheran ini mencapai 10 persen dari total jumlah penduduknya yang berjumlah 70 juta jiwa.
Menurut Sayyid yang juga Imam Besar Masjid Jami’ Banddar Abbas ini, Kedua entitas tersebut, Syiah dan Sunni hidup saling berdampingan.
"Sangat berbeda seperti apa yang disampaikan media terutama media barat yang biasa sering melakukan kebohongan atau hal-hal kecil kemudian menjadi besar," katanya saat berkunjung di Kantor Republika di Jakarta, Rabu (1/6) bersama Prof Mohammad Hasan Zamani, Kepala Hubungan Luar Negeri Hauzah Ilmiyah Iran.
Sayyid Abdul Ba'its memastikan selama 38 tahun setelah Revolusi Iran semua kelompok agama dan mazhab mampu mempertahankan persatuan dan kesatuan baik di dalam dan luar. Berikut petikan wawancara Republika dengan Sayyid abd al-Baits yang merupakan keturunan Rasulullah SAW itu:
Bisa Anda jelaskan demografi komunitas Sunni di Iran saat ini?
Ya. Ada dua hal yang menjadi fokus pertanyaan saat seminar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, soal pandangan Imam Khumaeni dan Sukarno tentang kemerdekaan yang kami hadiri. Pertama soal Revolusi Iran 1979 dan kedua soal hubungan antara Sunni dan Syiah di Iran.
Secara geografi, hampir semua perbatasan Iran ditempati oleh Sunni seperti barat Iran dan perbatasan Irak dan Turki dan tinggal di situ kaum atau bangsa Kurdi, dan juga Sunni.
Kurdi kebanyakan bermazhab Syafi’i, tapi di timur Iran dan beberapa provinsi seperti Balochestan dan Khorasan perbatasan dengan Pakistan dan Afganistan adalah Sunni dan kebanyakan adalah bermazhab Hanafi.
Kami berada di wilayah selatan Iran, Teluk Persia yang membentang kira-kira 2 ribu kilometer dari Chabahar hingga Bushehr adalah Muslim bermazhab Syafi’i.
Berdasarkan sensus beberapa tahun lalu, populasi kami mencapai 10 persen kemudian berkembang dan disebutkan mencapai 15 persen. Kita hidup dan bisa menjalankan keyakinan kita. Bisa mendirikan masjid, yayasan pendidikan Islam dengan kebebasan yang kita miliki.
Kira-kira ada berapa jumlah masjid komunitas di Iran sekarang?
Jumlah masjid kira-kira ada sekitar 45 ribu unit, dari total itu sekitar 15 ribu murni digunakan oleh Sunni. Padahal kita hanya 10 persen namun, kita memiliki 35 persen dari total keseluruhan jumlah masjid.
Apa nilai strategis dari eksistensi Sunni di kawasan perbatasan Iran?
Karena kita berada dalam perbatasan dan pasti negara itu punya kepentingan besar untuk menjaga perbatasan daripada tetangga, karena itu kondisi kami kondisi yang penuh dengan keamanan dan betul-betul dijamin untuk menjaga stabilitas nasional. Karena itu kami yang berada di selatan benar-benar hidup aman dan bahkan di bandingkan negara tetangga kami kami adalah yang lebih baik.
Human Right Watch (HRW) pernah menyebut negara Anda diskriminatif terhadap Sunni. Menurut Anda?
Banyak orang di luar Iran, berpikir bahwa ketika menyebut nama Iran langsung menganggap nama Iran sebagai negara 100 persen Syiah, padahal ini salah. Seperti tadi saya sebut ada 10 persen tadi.
Kedua bahwa ada yang menyebarkan Sunni di Iran sangat-sangat sedikit dan mereka berada dalam tekanan serta tidak punya kebebasan lalu mereka dipaksa untuk merubah mazhabnya.
Saya mengatakan dengan jujur sejak Revolusi Iran sampai sekarang tidak ada satupun orang yang menyuruh untuk pindah mazhab, tidak ada satupun orang yang menyuruh beralih dari Sunni pindah ke Mazhab Syiah.
Kita hidup dalam toleransi penuh kedamaian dan sangat berbeda seperti apa yang disampaikan media terutama media Barat dan biasa sering melakukan kebohongan atau hal-hal kecil kemudian menjadi besar. Saya siap menyampaikan beberapa contoh kalau memang diperlukan.
Dalam aspek pendidikan, bagaimana Anda membuktikan ucapan Anda itu?
Kita di selatan saja di sebuah provinsi punya 50 sekolah agama atau pesantren hampir 5 ribu santri melakukan pendidikan kesehariannya belajar mengajar.
Setelah kita melakukan perbandingan bahkan dengan Indonesia kita merasa bahwa kita cukup baik dalam masalah pendidikan fasilitas dan bahkan menariknya beberapa buku yang kita pelajari di sana diajarkan di sana sama dengan yang diajarkan di pesantren-pesantren di sini.
Seperti kitab Matan at-Taqrib dan ‘Umdat as-Salim wa ‘Iddat an-Nasik yang bermazhab Syafi’i karya Abu Syuja’ al-Ishfahani. Ada juga Abu Hamid al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin yang banyak dikaji di Indonesia.
Apakah kedua entitas itu saling berbaur atau terkonsentrasi dalam satu kawasan?
Ada desa-desa kecil yang penduduknya Sunni dan ada pula desa dengan warga Syiah saja. Tetapi di sejumlah kawasan yang lebih besar, mereka berbaur seperti di Bandar Abbas, tempat saya tinggal.
Mereka berinteraksi seperti biasa, berdagang, dan bahkan banyak perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh dua entitas yang berbeda itu, Sunni dan Syiah. Bahkan, tak sedikit pula pernikahan yang menyatukan pasangan Sunni dan Syiah.
Kalau yang di Utara ada dua yang besar pertama Majhab Hanafi dan Gilan tempat kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jaelani yang bermazhab Syafi’i.
Kami yang berada di dalam dan dilapangan, menggambarkan fakta dan realita sebenarnya berdasarkan geografis atau hubungan sosial. Tentu informasi kami lebih akurat ketimbang mereka yang hanya mendengar dan menyaksikan dari luar.
Lalu bagaimana dengan masjid, apakah juga berbaur seperti pada umumnya?
Ada masjid-masjid yang memang menggunakan masjid untuk shalat bersama-sama. Tetapi ada beberapa masjid karena yang menjadi takmirnya katakan misalnya Sunni, maka masjid tersebut diberi nama masjid Sunni, seperti Masjid Umar atau Masjid Abu Bakar. Begitu bebas mengambil nama –nama itu.
Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa kemudian ada orang Syiah datang ke situ. Sebagaimana sebaliknya masjid Syiah ta’mirnya orang Syiah dan namanya juga punya ciri khas Syiah. Tapi tidak kemungkinan Sunni untuk shalat di situ.
Selama menjadi takmir dan mengurus lima masjid di Bandar Abbas, sampa sekarang, tidak pernah ada satupun baik dari pemerintah atau ulama-ulama Syiah kemudian benci pada kita dan mengatur-atur kita.
Misalnya ada tamu tetap mereka ikut pada kita, tidak kemudian mengubah imam atau khatib yang sudah kami tetapkan.
Apakah para takmir dan imam tersebut telah ditentukan pemerintah?
Secara umum ditentukan oleh masyarakat termasuk pengelolaan imam jumat. Kecuali kota-kota tertentu demi kemaslahatan tertentu ditentukan seperti Kementerian Agama.
Terkait khotbah Jum’at, benar, memang kita berdekatan dengan Uni Emirat Arab yang memberlakukan kebijakan seleksi dan penunjukkan imam, tapi di Iran setelah Revolusi saya sudah menjadi khatib sampai sekarang 38 tahun tidak pernah sekalipun ada intervensi untuk menyampaikan tema tertentu. Ini bukan berarti kita bebas sebebasnya menyampaikan apapun, tetap saja kita sebagai khatib harus memiliki pertimbangan demi kemaslahatan umat.
Sejauhmana keikutsertaan Sunni dalam parlemen?
Di Iran tidak ada partai seperti di Indonesia yang banyak, setiap orang hanya mendaftarkan sebagai independen walaupun kemudian didukung oleh beberapa ormas atau organisasi lain.
Di DPR pusat ada 290 anggota parlemen, 23 anggota dari total tersebut adalah dari Sunni. Selain parlemen ada Wali Fakih.
Wali Fakih itu juga dipilih melalui sebuah pemilu walaupun yang kemudian menjadi, katakan anggota majelis yang merek sebut majelis para ahli para pakar yang kemudian untuk memilih Wali Fakih, itu adalah Sunni. Karena itu di majelis dewan pakar itu juga ada beberapa Sunni mewakili beberapa tempat.
Ekstremisme menjadi ancaman bagi kedua entitas. Menurut Anda?
Pertama kita meyakini bahwa Islam itu mengajarkan moderasi, Islam tidak mengajarkan ekstremisme dan ini juga kita sampaikan kepada masyarakat kita pada berbagai kesempatan bahwa Islam itu punya ajaran yang demikian, dan kaum Muslim dipersilahkann mengikuti ulama yang representatif, dalam Sunni ada empat mazhab itu juga dalam Syiah dengan otoritas para utamanya.
Di luar gerakan itu kita sangat mewanti-wanti. Gerakan takfiri itu sebagai gerakan di luar Islam walaupun mereka menamakan dan mengangkat nama Islam.
Kita selalu tekankan masing-masing melakukan tugasnya, baik sebagai masyarakat atau Muslim biasa yakni melakukan tugasnya melaksanakan ajaran agama diyakininya dengan berbagai sumber yang ada dengan berbagai mazhab yang ada sesuai dengan keyakinan, baik Sunni atau Syiah.
Kalau sudah berpegang teguh seperti itu maka kita akan jauh dari gerakan-gerakan takfiri yang baru itu yang tidak ada hubungan dengan salah satu daripada ulama mazhab yang representatif itu.
Kedua adalah pemerintah mempunyai kekuatan dan kendali maka harus melakukan tugasnya untuk kemudian menyelamatkan masyarakat dari provokasi yang dilakukan mereka.
Kita secara geografis secara fisik Bandar Abbas berbatasan dengan Irak itu mungkin tidak terlalu jauh dengan pusatnya ISIS, tetapi mereka tidak mampu masuk ke Bandar Abbas, bahkan mereka nyaris putus asa masuk ke wilayah Sunni.
Mungkin ke beberapa tempat berhasil tapi ke wilayah kita tidak berhasil. Ketidakberhasilan itu karena dua faktor tadi masing-masing tugasnya baik masyarakat maupun negara.
Dan tak henti-hentinya kita berikan penyadaran kepada masyarakat bahwa mereka bukanlah sebuah kelompok yang mandiri, tetapi mereka by setting, by design yang di belakang mereka adalah imperilais, Amerika dan Zionis Israel. [republika]