Bulan Muharram, bulan pertama dalam penanggalan hijriah ini biasa disebut bulan Suro oleh masyarakat Jawa. Bulan ini dianggap memiliki kekeramatan sehingga harus diadakan ritual-ritual khusus untuk menyambutnya. Sayangnya, ritual-ritual itu sangat lekat dengan kebid'ahan dan kesyirikan. Apa sajakah itu?
1. Kirab Kebo Bule
Memperingati malam 1 Suro, Keraton Surakarta Hadiningrat mengadakan kirab kebo bule, yaitu mengarak kerbau albino kesayangan Susuhunan yang dinamai Kyai Slamet. Dalam tradisi ini, Kyai Slamet akan diarak mengelilingi kawasan komplek keraton sejauh 4 kilometer pada tengah malam. Para abdi dalem keraton bersama masyarakat kemudian akan berjalan di belakang mengikutinya.
Mereka sangat menghormati dan mengkeramatkan binatang itu. Mereka tak sungkan berebut menyentuh dan menjamahnya bahkan mengambil kotoran Kyai Slamet karena dianggap membawa berkah dan keberuntungan. Tentu saja itu sebuah keyakinan keliru yang menyesatkan.
Selain mengarak kebo bule Kyai Slamet yang berjumlah sembilan ekor, dalam acara tersebut juga dilaksanakan kirab koleksi pusaka milik keraton yang jumlahnya mencapai sepuluh buah.
2. Mubeng Beteng
Tak beda dengan ritual kirab kebo bule di Surakarta, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pun mengadakan acara serupa pada tengah malam 1 Suro. Namun bedanya, bukan binatang yang diarak melainkan benda-benda pusaka keraton. Ritual ini dinamakan Mubeng Beteng.
Dalam ritual ini, sebelum prosesi dilakukan terlebih dahulu dibacakan macapat atau tembang jawa. Kemudian petugas keraton mengarak benda pusaka mengeliling benteng keraton sejauh lima kilometer yang diikuti ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama mengikuti ritual Mubeng Beteng ini, siapapun tidak diperkenankan berbicara, makan, minum dan juga merokok. Dia harus diam membisu selayaknya orang bertapa. Istilah ini biasa disebut dengan istilah "tapa mbisu mubeng beteng" (tapa bisu keliling benteng).
Dalam suasana hening itu mereka memanjatkan doa dan memohon keselamatan lahir dan batin serta kesejahteraan untuk pribadi, keluarga, bangsa dan negara.
3. Jamasan Pusaka
Di masyarakat yang masih erat dengan tradisi kejawen, jamasan pusaka menjadi ritual wajib saat memasuki bulan Suro. Pusaka seperti keris, tombak, kereta keraton, jimat-jimat dan lainnya mesti dibersihkan dan disucikan agar 'kekuatan' dan 'pengaruh'-nya tidak hilang.
Menjamas pusaka tidak boleh dilakukan sembarang orang, dia harus mengerti bagaimana memperlakukan benda-benda pusaka agar tidak berbalik mencelakainya. Ritual sembah sungkem kepada benda-benda pusaka adalah salah satu cara untuk 'menghormati'-nya. Termasuk memandikannya dengan air bunga.
Di keraton-keraton, prosesi penjamasan pusaka selalu menjadi magnet bagi warga untuk mendatanginya. Warga percaya, air bekas jamasan pusaka memiliki pengaruh terhadap kesehatan dan keberuntungan bagi yang memperolehnya. Maka tak heran air sisa-sisa jamasan selalu diperebutkan oleh mereka. Na'udzubillahi min dzalik.
4. Kungkum
Tradisi kungkum atau berendam pada tengah malam 1 suro biasanya dilakukan secara bersama-sama di sungai besar, sendang, atau sumber mata air tertentu. Ritual ini dilakukan sebagai upaya pembersihan diri dari kesalahan-kesalahan di tahun lalu sekaligus berharap keberuntungan di tahun mendatang. Tak jarang ritual kungkum dilakukan hingga menjelang pagi dengan tidak tidur semalaman.
5. Ruwatan
Malam satu Suro juga kerap digunakan untuk acara ruwatan atau tradisi pengusiran bala dan kesialan. Biasanya ritual ini dilaksanakan secara besar-besaran dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan cerita yang telah diatur dan disesuaikan.
Setelah pagelaran wayang berakhir, maka prosesi ruwatan dimulai. Orang-orang yang hendak menjalani prosesi ruwat akan dilakukan siraman dengan air yang telah dicampur bunga tujuh rupa. Dilanjutkan pemotongan rambut untuk dihanyutkan ke sungai. Setelahnya, dalang atau orang yang meruwat akan memberinya semacam rajah yang bertuliskan aksara jawa.
Ruwatan adalah tradisi yang mengarah pada kesyirikan sehingga wajib ditinggalkan kaum muslimin.
6. Tirakat
Tradisi yang juga banyak dilakukan orang saat malam 1 Suro adalah laku tirakat. Mereka mendatangi tempat-tempat sepi yang jauh dari keramaian seperti puncak gunung, gua-gua atau makam tertentu untuk bertirakat. Di situ mereka akan melakukan proses perenungan diri dengan tidak tidur semalaman.
Mereka beranggapan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihis salam telah mengajarkan hal ini kepada umatnya, yaitu ketika beliau bertahannuts (menyepi) di gua Hira. Tentu saja anggapan ini keliru, karena beliau melakukan hal itu sebelum diangkat menjadi rasul. Yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya adalah i'tikaf di masjid-masjid, dan ini sangat jauh berbeda dari amalan orang-orang tersebut. Wallahu a'lam.
7. Lek-lekan (begadang)
Banyak orang melakukan aktifitas begadang (lek-lekan) untuk menyambut 1 Suro. Mereka sengaja tidak tidur dan lebih memilih kumpul-kumpul bersama tetangga sambil ngobrol dan makan-makan. Hal ini dilakukan karena beranggapan malam 1 Suro adalah malam keramat/suci sehingga tak layak dilewatkan begitu saja. Dan hal ini justru bertentangan dengan perintah Rasulullah untuk tidak begadang bila tanpa ada keperluan. Sementara menghidupkan malam 1 Suro tidak ada perintahnya dalam agama ini.
8. Bubur Suro
Seperti pada peringatan hari-hari besar lainnya, peringatan 1 Suro juga memiliki kuliner khas, yaitu bubur suran atau bubur suro. Bubur beras ini dilengkapi uba rampe yang lengkap dan bermacam-macam yang biasanya serba tujuh. Bubur ini dibuat untuk merayakan malam satu suro. Pada asalnya, bubur ini dibuat sebagai wujud rasa syukur atas selamatnya kapal Nabi Nuh 'alaihissalam sewaktu banjir bandang yang menenggelamkan orang-orang musyrik kala itu. Diterangkan jika kapal Nabi Nuh mendarat selamat pada tanggal 10 Muharram. Wallahu a'lam.
Tentu saja asal hukum makanan adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Namun, bila sebuah makanan dibuat untuk peristiwa tertentu dan dengan cara tertentu, yang dengan ini pembuatnya atau penikmatnya menghendaki keutamaan di sisi Allah, tetapi syariat tidak memerintahkannya maka lebih baik kita tinggalkan.
Demikianlah pembaca, beberapa ritual bid'ah di masyarakat dalam menyambut 1 Suro. Tentu saja hal ini bukan merupakan pembatasan karena setiap daerah punya tradisi tersendiri yang bila dikupas pastinya akan menambah panjang daftar amalan bid'ah tersebut.
Maka marilah kita kenali prinsip-prinsip Islam, niscaya kita tak akan tertipu dengan amalan-amalan bid'ah yang beredar di masyarakat. Wallahu a'lam bish shawab.
1. Kirab Kebo Bule
Memperingati malam 1 Suro, Keraton Surakarta Hadiningrat mengadakan kirab kebo bule, yaitu mengarak kerbau albino kesayangan Susuhunan yang dinamai Kyai Slamet. Dalam tradisi ini, Kyai Slamet akan diarak mengelilingi kawasan komplek keraton sejauh 4 kilometer pada tengah malam. Para abdi dalem keraton bersama masyarakat kemudian akan berjalan di belakang mengikutinya.
Mereka sangat menghormati dan mengkeramatkan binatang itu. Mereka tak sungkan berebut menyentuh dan menjamahnya bahkan mengambil kotoran Kyai Slamet karena dianggap membawa berkah dan keberuntungan. Tentu saja itu sebuah keyakinan keliru yang menyesatkan.
Selain mengarak kebo bule Kyai Slamet yang berjumlah sembilan ekor, dalam acara tersebut juga dilaksanakan kirab koleksi pusaka milik keraton yang jumlahnya mencapai sepuluh buah.
2. Mubeng Beteng
Tak beda dengan ritual kirab kebo bule di Surakarta, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pun mengadakan acara serupa pada tengah malam 1 Suro. Namun bedanya, bukan binatang yang diarak melainkan benda-benda pusaka keraton. Ritual ini dinamakan Mubeng Beteng.
Dalam ritual ini, sebelum prosesi dilakukan terlebih dahulu dibacakan macapat atau tembang jawa. Kemudian petugas keraton mengarak benda pusaka mengeliling benteng keraton sejauh lima kilometer yang diikuti ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama mengikuti ritual Mubeng Beteng ini, siapapun tidak diperkenankan berbicara, makan, minum dan juga merokok. Dia harus diam membisu selayaknya orang bertapa. Istilah ini biasa disebut dengan istilah "tapa mbisu mubeng beteng" (tapa bisu keliling benteng).
Dalam suasana hening itu mereka memanjatkan doa dan memohon keselamatan lahir dan batin serta kesejahteraan untuk pribadi, keluarga, bangsa dan negara.
3. Jamasan Pusaka
Di masyarakat yang masih erat dengan tradisi kejawen, jamasan pusaka menjadi ritual wajib saat memasuki bulan Suro. Pusaka seperti keris, tombak, kereta keraton, jimat-jimat dan lainnya mesti dibersihkan dan disucikan agar 'kekuatan' dan 'pengaruh'-nya tidak hilang.
Menjamas pusaka tidak boleh dilakukan sembarang orang, dia harus mengerti bagaimana memperlakukan benda-benda pusaka agar tidak berbalik mencelakainya. Ritual sembah sungkem kepada benda-benda pusaka adalah salah satu cara untuk 'menghormati'-nya. Termasuk memandikannya dengan air bunga.
Di keraton-keraton, prosesi penjamasan pusaka selalu menjadi magnet bagi warga untuk mendatanginya. Warga percaya, air bekas jamasan pusaka memiliki pengaruh terhadap kesehatan dan keberuntungan bagi yang memperolehnya. Maka tak heran air sisa-sisa jamasan selalu diperebutkan oleh mereka. Na'udzubillahi min dzalik.
4. Kungkum
Tradisi kungkum atau berendam pada tengah malam 1 suro biasanya dilakukan secara bersama-sama di sungai besar, sendang, atau sumber mata air tertentu. Ritual ini dilakukan sebagai upaya pembersihan diri dari kesalahan-kesalahan di tahun lalu sekaligus berharap keberuntungan di tahun mendatang. Tak jarang ritual kungkum dilakukan hingga menjelang pagi dengan tidak tidur semalaman.
5. Ruwatan
Malam satu Suro juga kerap digunakan untuk acara ruwatan atau tradisi pengusiran bala dan kesialan. Biasanya ritual ini dilaksanakan secara besar-besaran dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan cerita yang telah diatur dan disesuaikan.
Setelah pagelaran wayang berakhir, maka prosesi ruwatan dimulai. Orang-orang yang hendak menjalani prosesi ruwat akan dilakukan siraman dengan air yang telah dicampur bunga tujuh rupa. Dilanjutkan pemotongan rambut untuk dihanyutkan ke sungai. Setelahnya, dalang atau orang yang meruwat akan memberinya semacam rajah yang bertuliskan aksara jawa.
Ruwatan adalah tradisi yang mengarah pada kesyirikan sehingga wajib ditinggalkan kaum muslimin.
6. Tirakat
Tradisi yang juga banyak dilakukan orang saat malam 1 Suro adalah laku tirakat. Mereka mendatangi tempat-tempat sepi yang jauh dari keramaian seperti puncak gunung, gua-gua atau makam tertentu untuk bertirakat. Di situ mereka akan melakukan proses perenungan diri dengan tidak tidur semalaman.
Mereka beranggapan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihis salam telah mengajarkan hal ini kepada umatnya, yaitu ketika beliau bertahannuts (menyepi) di gua Hira. Tentu saja anggapan ini keliru, karena beliau melakukan hal itu sebelum diangkat menjadi rasul. Yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya adalah i'tikaf di masjid-masjid, dan ini sangat jauh berbeda dari amalan orang-orang tersebut. Wallahu a'lam.
7. Lek-lekan (begadang)
Banyak orang melakukan aktifitas begadang (lek-lekan) untuk menyambut 1 Suro. Mereka sengaja tidak tidur dan lebih memilih kumpul-kumpul bersama tetangga sambil ngobrol dan makan-makan. Hal ini dilakukan karena beranggapan malam 1 Suro adalah malam keramat/suci sehingga tak layak dilewatkan begitu saja. Dan hal ini justru bertentangan dengan perintah Rasulullah untuk tidak begadang bila tanpa ada keperluan. Sementara menghidupkan malam 1 Suro tidak ada perintahnya dalam agama ini.
8. Bubur Suro
Seperti pada peringatan hari-hari besar lainnya, peringatan 1 Suro juga memiliki kuliner khas, yaitu bubur suran atau bubur suro. Bubur beras ini dilengkapi uba rampe yang lengkap dan bermacam-macam yang biasanya serba tujuh. Bubur ini dibuat untuk merayakan malam satu suro. Pada asalnya, bubur ini dibuat sebagai wujud rasa syukur atas selamatnya kapal Nabi Nuh 'alaihissalam sewaktu banjir bandang yang menenggelamkan orang-orang musyrik kala itu. Diterangkan jika kapal Nabi Nuh mendarat selamat pada tanggal 10 Muharram. Wallahu a'lam.
Tentu saja asal hukum makanan adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Namun, bila sebuah makanan dibuat untuk peristiwa tertentu dan dengan cara tertentu, yang dengan ini pembuatnya atau penikmatnya menghendaki keutamaan di sisi Allah, tetapi syariat tidak memerintahkannya maka lebih baik kita tinggalkan.
Demikianlah pembaca, beberapa ritual bid'ah di masyarakat dalam menyambut 1 Suro. Tentu saja hal ini bukan merupakan pembatasan karena setiap daerah punya tradisi tersendiri yang bila dikupas pastinya akan menambah panjang daftar amalan bid'ah tersebut.
Maka marilah kita kenali prinsip-prinsip Islam, niscaya kita tak akan tertipu dengan amalan-amalan bid'ah yang beredar di masyarakat. Wallahu a'lam bish shawab.