Sejumlah siswa menggelar teatrikal sambil mengagungkan nama Allah SWT, saat malam refleksi jelang Tahun Baru Islam 1 Muharram 1431 H di SD Muhammadiyah 4 Pucang, Surabaya
Kenapa Ada Tirakatan dan Mandi Keris di Malam Tahun Baru Islam - Ketika dimulai atau tahun baru hijrah (malam tanggal 1 Muharram) datang, kebanyakan orang Jawa melakukan tradisi ‘tirakatan’ diikuti dengan kegiatan doa akhir tahun dan awal tahun. Tak heran bila di banyak tempat kita temui banyak kegiatan yang terkait dengan kegiatan yang terkait dengan sembahyang dan praktik-praktik tirakat. Lantas, apa makna kegiatan ini.
Guru Besar Ilmu Tasawuf IAIN Walisongo Semarang & Direktur Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMBKOTA) Kota Semarang Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA. menyebutkan, ”tirakatan,” berasal dari bahasa Arab: taroka, yatruku, tarakan-tirakatan (telah meninggalkan, sedang/ akan meninggalkan, tinggalan). Kata ini berubah menjadi bahasa Indonesia/Jawa menjadi ‘tirakatan’.
Pada malam Muharram atau disebut malam Suro, di berbagai tempat misalnya di kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota banyak orang melaksanakannya kegiatan dengan caranya masing-masing. Ada yang membaca Alquran, berzanji bersama-sama, manaqib (sejarah) Syekh Abdul Qadir al-Jailani, bahkan ada yang kungkum di sungai, mencuci keris, mencuci kereta Kencana dan sebagainya dengan niat dan tujuannya masing-masing.
Tirakat dalam dunia tasawuf disebut juga suluk (laku), yaitu melakukan sesuatu untuk menjernihkan hati dengan tujuan memeroleh ma’rifatullah (mengenal Allah). Caranya dengan mengurangi makan, tidur dan bicara. Dua di antara tiga pengurangan tadi, yakni makan dan tidur merupakan satu paket, sebab orang yang banyak makan biasanya banyak tidur. Oleh karena itu dalam laku tarekat biasanya kedua hal tersebut harus dihindari.
Sedang sedikit bicara pun sangat dianjurkan karena orang yang banyak bicara, akan banyak pula salah dan dosanya. Oleh karena itu shahabat Abu Bakar al-Shiddiq, pernah ngemut batu (Jawa) karena takut bicara yang berlebih-lebihan, lebih-lebih setelah mendengar sabda Nabi Muhammad saw: Qul khairan au liyashmut (bicara yang baik, kalau tidak bisa, lebih baik diam).
Dalam konteks inilah, maka orang Jawa membuat acara ‘tirakatan’, yakni meninggalkan dalam arti mengurangi, tidak sebaliknya, tirakatan tetapi justru pesta dan makan-makan. Namun itu tidak bisa disalahkan, karena sudah menjadi istilah dalam bahasa Jawa.
Guru Besar Ilmu Tasawuf IAIN Walisongo Semarang & Direktur Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMBKOTA) Kota Semarang Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA. menyebutkan, ”tirakatan,” berasal dari bahasa Arab: taroka, yatruku, tarakan-tirakatan (telah meninggalkan, sedang/ akan meninggalkan, tinggalan). Kata ini berubah menjadi bahasa Indonesia/Jawa menjadi ‘tirakatan’.
Pada malam Muharram atau disebut malam Suro, di berbagai tempat misalnya di kelurahan, kecamatan, kabupaten/ kota banyak orang melaksanakannya kegiatan dengan caranya masing-masing. Ada yang membaca Alquran, berzanji bersama-sama, manaqib (sejarah) Syekh Abdul Qadir al-Jailani, bahkan ada yang kungkum di sungai, mencuci keris, mencuci kereta Kencana dan sebagainya dengan niat dan tujuannya masing-masing.
Tirakat dalam dunia tasawuf disebut juga suluk (laku), yaitu melakukan sesuatu untuk menjernihkan hati dengan tujuan memeroleh ma’rifatullah (mengenal Allah). Caranya dengan mengurangi makan, tidur dan bicara. Dua di antara tiga pengurangan tadi, yakni makan dan tidur merupakan satu paket, sebab orang yang banyak makan biasanya banyak tidur. Oleh karena itu dalam laku tarekat biasanya kedua hal tersebut harus dihindari.
Sedang sedikit bicara pun sangat dianjurkan karena orang yang banyak bicara, akan banyak pula salah dan dosanya. Oleh karena itu shahabat Abu Bakar al-Shiddiq, pernah ngemut batu (Jawa) karena takut bicara yang berlebih-lebihan, lebih-lebih setelah mendengar sabda Nabi Muhammad saw: Qul khairan au liyashmut (bicara yang baik, kalau tidak bisa, lebih baik diam).
Dalam konteks inilah, maka orang Jawa membuat acara ‘tirakatan’, yakni meninggalkan dalam arti mengurangi, tidak sebaliknya, tirakatan tetapi justru pesta dan makan-makan. Namun itu tidak bisa disalahkan, karena sudah menjadi istilah dalam bahasa Jawa.
Sumber: Liputan6.com