Cerita Rakyat Jawa - Asal Usul Gunung Bromo Dan Semeru. Alkisah pada zaman dahulu Pulau Jawa belum dihuni oleh manusia, bagaikan daun padi yang terapung dan terombang-ambing di tengah samudera dan senantiasa mengguncang setiap pulau di muka Bumi. Pulau Jawa selalu bergerak berpindah-pindah sebab tidak ada gunung-gunung yang menahannya. Oleh karena itu, Bhatara Jagatpramana (nama lain Bhatara Guru) berdiri, dia menciptakan Pulau Jawa bersama Bhatari Parameswari, sehingga terdapatlah Gunung Dihyang (Gunung Dieng sekarang), tempat Bhatara Guru kemudian mencipta.
Setelah Bhatara Guru selesai melakukan semadi, kemudian memerintahkan Hyang Brahma dan Wisnu untuk menciptakan manusia. Manusia laki-laki dibuat oleh Brahma, sedangkan manusia perempuan dibuat oleh Wisnu. Tanah dikepal-kepalnya dan dibuatlah manusia yang sangat elok rupanya seperti rupa dewata. Sepasang manusia di Pulau Jawa itu lalu beranak pinak. Sayang mereka masih tanpa pakaian, tidak dapat berbicara dan belum menetap dalam suatu rumah. Maka dari itu para dewata berkumpul dan bermusyawarah menghadap kepada Bhatara Guru. Bhatara Guru memerintahkan kepada para dewa agar turun ke Pulau Jawa untuk mendidik manusia Jawa.
Maka para Dewa bersama-sama turun ke Pulau Jawa. Wiswakarma mengajarkan cara membuat rumah. Iswara mengajarkan tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiska (ilmu hukum/tata tertib). Wisnu mengajarkan cara bertingkah laku dan menjadi guru manusia. Mahadewa mengajarkan menjadi tukang besi dan membuat pakaian. Bhagawan Ciptagupta mengajarkan melukis dan mewarnai perhiasan. Brahma mengajarkan cara membuat peralatan dari besi. Lima makhluk besar dimintai pertolongannya, yakni bumi, air, api, angin, dan angkasa. Bumi sebagai landasan (paron), air sebagai penjepit, api sebagai pembakar, angin sebagai peniup api, dan angkasa sebagai palu. Oleh karena itu, tempat itu dinamai Gunung Brahma (Bromo), tempat Brahma menjadi pandai besi. Palu dan landasannya sebesar pohon tal, penjepitnya (guntingnya) sebesar pohon pinang, sang Bayu (angin) keluar dari goa, dan sang Agni (api) selalu ada siang dan malam. Itulah tempat Brahma mengerjakan pekerjaan pandai besi.
Adapun Pulau Jawa pada zaman itu masih bergoyang-goyang, selalu bergerak mengguncang-guncang, karena belum ada penindihnya. Oleh karena itu Bhatara Guru mencari alat untuk menguatkan Pulau Jawa supaya tetap kuat. Kemudian Bhatara Guru bertapa di Gunung Hyang (Gunung Dewa, Gunung Dieng sekarang), berdiri menghadap ke timur, kemudian diputarlah air sampai menjadi busa, lalu menjadi gunung. Tanah yang dipijak oleh kaki Bhatara kelak menjadi Gunung Limohan. Kemudian Pulau Jawa sudah tidak kuat lagi, selalu bergerak berguncang-guncang. Kemudian Bhatara Parameswara (nama lain Bhatara Guru) memerintahkan kepada para dewata menghentikan penciptaan dunia. Maka pulanglah mereka ke sorganya masing-masing. Adapun manusia di Pulau Jawa semakin lama semakin bertambah banyak.
Melihat keadaan Pulau Jawa para Dewa merasa sangat prihatin. Itu sebabnya, dengan berbondong-bondong para dewa menghadap Bhatara Guru yang menjadi pemimpin mereka. Semua dewata, para resi, para pahlawan, para bidadari, para gandarwa, semua berhimpun dan sujud di kaki Bhatara Mahakarana. Setelah mereka berbuat sembah, mereka duduk bersila berderet menghadap ke Bhatara Guru. “Sampai sekarang Pulau Jawa masih terus bergoyang kalau tidak segera diatasi, pulau itu selamanya tidak akan ditempati.
Karena itu, mohon Pukulun (Tuan) memikirkannya,” kata Dewa Wisnu. Sesuai dengan hasil semadinya di Gunung Dihyang Bhatara Guru telah menemukan cara mengatasi hal itu. “Satu-satunya cara untuk membuat Pulau Jawa kokoh dan tidak bergoyang adalah dengan memberinya pasak. Karena itu pergilah ke Jambudwipa (India). Potonglah Gunung Mandara separuhnya dan ambillah puncak Mahameru untuk dijadikan pasak Pulau Jawa,” ujar Bhatara Guru. “Mohon ampun, Pukulun.
Gunung Mandara itu sangat tinggi, puncaknya yang bernama Mahameru sampai menyentuh langit. Jadi, meskipun diambil separuhnya, tetap saja sangat besar dan terlalu berat untuk diangkat serta dipindahkan. Mana mungkin di antara kami ada yang mampu melaksanakan tugas tersebut?” kata Bhatara Bayu. “Sebesar dan seberat apapun suatu pekerjaan, akan menjadi lebih mudah dan terasa lebih ringan bila dikerjakan bersama-sama. Itu sebabnya, kalian harus berangkat bersama-sama dan bergotong-royong untuk menyelesaikan pekerjaan ini”, perintah Bhatara Guru.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi berangkatlah para dewa ke Negeri Jambudwipa. Mereka bahu-membahu memotong Gunung Mandara menjadi dua. Setelah puncak Mahameru berhasil didapatkan, barulah para dewa itu membagi tugas untuk membawanya ke Pulau Jawa. Mula-mula, Bhatara Brahma yang mengubah dirinya menjadi kura-kura raksasa.
Kura-kura yang besarnya tiada terkira itu dijadikan alas untuk meletakkan Mahameru. Kemudian Bhatara Bayu, sang dewa kekuatan mengangkat Mahameru dengan dibantu dewa yang lain, dan meletakkannya di punggung kura-kura. Setelah itu Bhatara Wisnu mengubah diri menjadi naga raksasa yang panjangnya tidak terjangkau mata. Naga raksasa itu membelit Mahameru agar tidak sampai terjatuh selama dalam perjalanan.
Di perjalanan para dewa yang kelelahan membawa Mahameru, merasa sangat kehausan. Mereka melihat ada air yang sangat jernih keluar dari Mahameru yang dibawanya. Para dewa yang menempuh perjalanan yang sangat jauh, segera berebut mengambilnya. Mereka ingin menghapus dahaga dengan meminum air tersebut. Mereka tidak sadar bahwa air itu sebenarnya adalah air racun Kalakuta yang mematikan. Sesaat setelah meminumnya, para dewa itu menemui ajalnya.
Tidak berapa lama kemudian, Bhatara Guru datang untuk melihat kerja para dewa. Betapa terkejutnya pemimpin para dewa itu, mengetahui anak buahnya sudah terbujur kaku tidak bernyawa. “Ah, semua dewata mati. Apa sebabnya mereka mati?” kata Bhatara Guru dalam hati. Setelah melihat keadaan sekeliling, Bhatara Guru mencurigai air yang mengalir dari puncak Mahamerulah yang menjadi penyebab kematian para dewa.
Untuk membuktikannya, Bhatara Guru meneguk air racun Kalakuta itu. Ternyata benar, begitu melewati tenggorokan, leher Bhatara Guru seketika bagai terbakar. Bhatara Guru pun memuntahkannya. Namun sudah terlambat, meski berhasil dimuntahkan, leher Bhatara Guru sudah terlanjur terbakar dan tak bisa disembuhkan. Akibatnya, pada leher Bhatara Guru terdapat tanda hitam yang tidak dapat dihilangkan. Sejak saat itu, Bhatara Guru mendapat sebutan Bhatara Nilakanta yang artinya leher hitam.
“Ganas sekali racun Mahameru ini. Pantas bila para dewa langsung menemui ajal begitu meminumnya,” guman Batara Guru. Akhirnya, dengan kesaktian yang dimiliki, Bhatara Guru mengubah air racun Kalakuta menjadi air suci pangkal kehidupan. Air itu diberi nama Tirtha Kamandalu. Tirtha Kamandalu itu segera disiramkan ke semua jasad para dewa. Ajaib! Begitu tersentuh Tirtha Kamandalu, para Dewa langsung hidup sebagaimana keadaan semula. Maka Bhatara Guru berkata: “Kini bawalah kembali Sang Hyang Mandaragiri (nama lain Mahameru) sampai ke Pulau Jawa, hai anak-anakku.”
Maka para raksasa dikerahkan untuk membantu para dewata. Gunung Mandara diangkat, kemudian sampailah mereka ke sisi sebelah barat Pulau Jawa. Nampaklah Mahameru bercahaya cemerlang, oleh karena itu Gunung Mahameru dinamakan juga Kelasaparwata. Lalu ditancapkanlah di sebelah barat Pulau Jawa sebagai paku. Namun yang terjadi adalah Pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur Pulau Jawa terangkat ke atas. Tunggul sisanya hanya ada di sisi barat, oleh karena itu nanti akan ada Gunung Kailasa, tunggulnya Sang Hyang Mahameru.
Akhirnya puncaknya Mahameru dipindahkan ke sebelah timur, diangkat bersama-sama oleh para dewata. Dalam perjalanan pemindahan gunung tersebut bagian Mahameru berguguran menjadi gunung-gunung yang berjajar sepanjang Pulau Jawa antara lain, Gunung Katong (Lawu), Wilis, Kampud (Kelud), Kawi, Arjuna (Arjuno), dan Gunung Kemukus (Welirang).
Tubuh Mahameru rusak bagian bawahnya karena runtuh maka miring berdirinya, bergerak-geraklah puncaknya. Lalu puncak Mahameru diberdirikan oleh para dewata. Demikianlah Mahameru tidak kuat dan bersandar di Gunung Brahma. Kemudian puncak yang tersisa ditancapkan berupa Gunung Semeru, dari kata Mahameru. Ketika Gunung Mahameru sudah ditaruh di bagian timur, Pulau Jawa tetap saja miring.
Sehingga para Dewa memutuskan memotong bagian gunung dan ditempatkan di bagian barat laut. Penggalan Mahameru itu menjadi Gunung Pawitra (artinya Gunung Suci) dan sekarang lebih dikenal sebagai Gunung Penanggungan. Oleh karena diperteguh pada Gunung Brahma, Pulau Jawa menjadi kuat, berhentilah dia bergerak dan bergoyang maka Gunung Mahameru disebut juga dengan Gunung Misada.
Mulai saat itu Pulau Jawa menjadi tenang kedudukannya seperti sekarang ini. Ketika Sang Hyang Siwa datang ke Pulau Jawa dilihatnya banyak tanaman Jawawut, sehingga akhirnya pulau yang ditempati Gunung Mahameru itu dinamakan Pulau Jawa. Bagian utama Gunung Mahameru dijadikan bersemayamnya Dewa Siwa dan sekarang lebih dikenal dengan nama Gunung Semeru.
Sumber: id.wikipedia.org