Gunung Kemukus, sebuah bukit yang terkenal sebagai tempat ziarah, terletak di daerah Sragen Jawa Tengah. Sebuah bukit yang terletak agak ke tengah atau menjorok ke tengah Waduk Kedung Ombo ini, dipercaya (bagi yang percaya) merupakan tempat untuk mencari pesugihan (kekayaan), yang salah satu syaratnya adalah dengan mengadakan ritual seks antara peziarah laki-laki dan peziarah perempuan yang sama, selama 7 kali, dan dilaksanakan tiap hari pasaran di malam Jumat Pon.
Syarat ritual ini dipercaya merupakan “pesan” dari Pangeran Samodra yang dimakamkan di puncak bukit yang mati merana karena kisah cintanya terhadap ibu tirinya R.Ay Ontrowulan terbongkar oleh oleh ayahnya. Pangeran Samodra yang diusir oleh ayahnya kemudian melanglang buana seorang diri sampai akhirnya berhenti di sebuah bukit yang sekarang ini dikenal dengan nama Gunung Kemukus ini. Ternyata kepergian sang Pangeran ini juga membuat R.Ay Ontrowulan, nekad demi cintanya, melarikan diri dari istana dan mencari pujaan hatinya. Akhirnya, sang Putri berhasil menemukan sang Pangeran di gunung ini.
Malangnya, ketika bertemu dan belum sempat memadu kasih, keburu kelakuan mereka berdua diketahui oleh masyarakat sekitarnya. Tanpa ampun keduanya lalu dihukum beramai-ramai sampai akhirnya mereka menemui ajalnya. Sebelum ajal menjemput, Pangeran Samodra meninggalkan pesan jika ada orang yang bersedia melakukan hubungan badan dengan orang yang sama selama 7 kali pada hari pasaran dimana dia meninggal bersama Ontrowulan, maka keinginan orang tersebut akan terpenuhi.
Nah, berbekal rasa ingin tahu, akhirnya seseorang mengikuti sebuah acara wisata religi yang diadakan oleh salah satu perguruan tinggi di Jogja dan menuliska pengalamannya di bawah ini:
Sesampai disana, semua peserta wisata religi ini dipecah menjadi beberapa kelompok. Aku beruntung karena yang menjadi kelompokku adalah orang-orang yang sudah kukenal dengan baik, baik laki-laki maupun perempuan. Kelompok kami tediri dari 2 perempuan dan 4 laki-laki.
Perjalanan yang sebenarnya baru dimulai, kami berjalan pelan-pelan mendaki bukit melalui jalan setapak yang sidah diperkeras. Mendekati areal pemakaman Pangeran Samudra di puncak bukit, banyak warung-warung yang menjajakan berbagai kebutuhan untuk berziarah , makanan dan minuman berada disisi jalan. Tidak hanya itu, mereka juga menawarkan kamar-kamar, yang lebih pas disebut bilik, bagi peziarah yang ingin beristirahat plus dengan wanita penghibur (PSK).
Suasana yang berbau mesum sudah mulai terasa. Dengan cepat kugandeng gadis cantik bertangan lembut yang selalu menempel diriku karena takut, sehingga seolah-olah kami ini pasangan yang sedang berpacaran. Ternyata semua yang ikut dalam wisata ini banyak yang meniru cara kami, hanya yang tidak beruntung saja, terpaksa berkelompok atau berdua sesama laki-laki. Perjalanan terus dilanjutkan, dan sampailah kami di area puncak bukit, tempat pemakaman Pangeran Samudra. Sesampai disini, terus mau apa ? Itulah yang jadi pertanyaan kami semua. Mau ikut ritual ? Kebingungan melanda kami semua.
Bagiku, kepalang basah, sudah sampai kalau cuma bengong buat apa. Akhirnya dengan modal nekad aku jadi satu-satunya “relawan” yang melakukan ritual di tempat ini. Mulai dari membeli bunga kemudian mandi di sendang Ontrowulan sampai masuk ke makam Pangeran Samudra dan menghadap juru kunci kulakukan semua. Ketika ditanya mau apa ziarah ke tempat ini, sekedar basa-basi kujawab kalau aku minta didoakan agar kami serombongan yang datang ke tempat ini mendapat keselamatan hingga sampai nanti pulang ke Jogja.
Acara berikutnya, ini untuk membuktikan, adalah mencoba mengintip pasangan yang melakukan hubungan seks di tempat terbuka, sebagai bagian ritual mencari pesugihan. Tentu saja aku masih berpasangan dengan gadis cantik yang bertangan lembut itu mencoba mencari-cari di sekitar rimbunnya pepohonan atau belukar sampai ke pinggiran waduk. Terus terang saja, hati ini dag-dig-dug, bukan hanya karena hendak mengintip, tapi juga karena berjalan berdua dengan tubuh berdempetan bikin suasana makin mendebarkan. Bahkan aku sempat berdoa kepada Tuhan semoga kami berdua khilaf…hehehe
Ternyata kegiatan kami gagal, tidak ditemukan adanya sepasang laki-perempuan yang sedang bercinta. Ini tidak seperti apa yang digembar-gemborkan dalam cerita jika berjalan kurang hati-hati bisa tersandung badan orang yang lagi berhubungan seks. Dengan badan yang lelah, akhirnya kami beristirahat di sebuah tempat yang cukup luas sembari menunggu saat unttuk pulang.
Di saat sedang beristirahat, di depan kami ada laki-laki usia pertengahan bersama seorang perempuan yang sepantar juga sedang duduk-duduk. Aku bersama gadis bertangan lembut dengan gaya sok akrab lalu menyapa mereka. Melihat kami berdua saja ( teman-teman ada di jarak tertentu) mereka pun juga menyambut sapaan kami dengan ramah. Singkatnya, menurut cerita mereka, mereka ini sudah tiga kali menjalani ritual di Gunung Kemukus, dan malam itu adalah yang keempat kalinya. Yang laki-laki cukup tampan sedangkan yang perempuan juga masih kelihatan cantik, tapi mereka bukan suami istri. Obrolan kami tidak lama karena mereka segera pergi untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka berdua pergi yang tersisa hanya bau harum yang menandakan bahwa mereka berdua baru saja mandi keramas, berbeda dengan kami yang sedikit berbau apek karena berkeringat akibat muter-muter jalan naik turun bukit. Kami berdua saling berpandangan dan tertawa pelan menyaksikan kepergian mereka. Sebuah bukti adanya ritual seks mengejar kekayaan lewat pesugihan masih berlangsung saat itu.Tak lama kemudian kami serombongan berkumpul dan pulang kembali ke Jogja.
Apakah sekarang bentuk ritual semacam itu masih berlangsung ? Entahlah….! Yang pasti kenangan perjalanan 20 tahun yang lalu masih sempat kutuliskan, meski gadis bertangan lembut itu kini tak bersamaku lagi.