Cut Nyak Dien adalah salah satu pahlawan Indonesia yang diasingkan oleh tentara Belanda. Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang karena dianggap berpotensi membuat ancaman.
Tanpa fisik yang sempurna, Cut Nyak Dien akhirnya diasuh dan dirawat oleh keluarga K.H Sanusi yang merupakan ulama Masjid Agung Sumedang. Dia pun tinggal di rumah K.H Sanusi yang berada tidak jauh dari makamnya.
Rumah berukuran 12 x 14 meter itu tampak sepi dari pengunjung. Rumah tersebut merupakan saksi sejarah kisah pahlawan wanita Indonesia, Cut Nyak Dien saat melewati hari – harinya sebagai orang yang diasingkan oleh tentara Belanda.
Di rumah tersebut, ada sebuah ruangan berukuran 3 x 5 meter yang menjadi kamar Cut Nyak Dien. Di kamar tersebut terdapat ranjang berukuran 2 x 2 meter. Selain itu, ada juga mesin jahit di dalam rumah tersebut. Menurut pengakuan beberapa orang yang berada di sana, konon mesin jahit tersebut suka berjalan sendiri.
“Katanya sih mesin jahitnya suka berjalan atau goyang – goyang sendiri, seperti ada orang yang sedang menjahit,” kata Dwi salah seorang yang pernah mengunjungi rumah K.H Sanusi yang juga merupakan rumah tempat Cut Nyak Dien dirawat.
Rumah itu berbentuk seperti rumah panggung. Di dalamnya sudah tidak banyak barang hanya benda – benda peninggalan yang dipakai oleh Cut Nyak Dien. Menurut Dadang, anak cucu keturunan K.H Sanusi benda – benda tersebut sengaja dipindahkan.
“Benda – benda yang lainnya masih digunakan oleh keluarga sehingga ada yang dipindahkan. Kalau yang ada di rumah hanya benda yang digunakan oleh Cut Nyak Dien saja,” kata Dadang.
Cut Nyak Dien merupakan pahlawan nasional dari Aceh Barat yang mendapat julukan Srikandi Indonesia. Dia anak dari Teuku Nanta Setia, sedangkan ibunya adalah bangsawan dari Lampagar. Cut Nyak Dien dilahirkan tahun 1848, dari kecil dia mendapat pendidikan agama dari lingkungan bangsawan – bangsawan Aceh.
Cut Nyak Dien ditangkap Belanda pada tanggal 6 November 1905 atas laporan panglima perangnya Teuku Panglaor. Laporan Panglima Panglaor sebenarnya bukan untuk mengkhianatinya tetapi dia merasa kasihan dengan kondisi Cut Nyak Dien karena Cut Nyak Dien sudah tidak bisa melihat (buta). Panglima meminta Belanda untuk tidak menyiksanya atau pun diasingkan.
Tetapi pada 11 Desember 1906, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang bersama panglima perangnya dan seorang anak laki – laki berumur 15 tahun bernama Teuku Nana. Pada waktu itu Gubernur Jenderal Belanda J.B.V Heuts yang menerima Cut Nyak Dien. Dia langsung menyerahkan Cut Nyak Dien kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmadja (Pangeran Mekah) yang merupakan anak dari Pangeran Aria Kusumah Adinata (Pangeran Soegih).
Untuk perawatan Cut Nyak Dien, Pangeran Mekah menyerahkannya kepada seorang ulama Masjid Agung Sumedang yang sudah mendapat gelar Penghulu bernama K.H Sanusi. Tetapi K.H Sanusi hanya satu tahu merawat Cut Nyak Dien karena beliau meninggal tahun 1907. Perawatan Cut Nyak Dien pun dilanjutkan oleh anak K.H Sanusi bernama H. Husna, sampai Cut Nyak Dien wafat pada tanggal 6 Novemper 1908 dan dimakamkan di lokasi Makam Keluara H. Husna di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Jawa Barat.
Kegiatan Cut Nyak Dien selama dalam perawatan H. Husna walaupun matanya sudah tidak bisa melihat, tapi beliau masih bisa memberikan pelajaran mengaji khususnya kepada ibu – ibu warga Kaum, umumnya masyarakat Sumedang. Sehingga Cut Nyak Dien mendapat julukan Ibu Perbu atau Ibu Ratu, sedangkan masyarakat Sumedang menyebutnya Ibu Suci.
Orang yang paling dekat dengan Cut Nyak Dien adalah Siti Hodijah yang merupakan anaknya H. Husna. Siti wafat pada tahun 1967 dan di makamkan di Gunung Puyuh. Cut Nyak Dien berkomunikasi hanya dengan K.H Sanusi, H. Husna, dan Siti Hodijah, itu pun dengan bahasa Arab.
Sebelum tahun 1950, tidak banyak masyarakat umum yang mengetahui bahwa Cut Nyak Dien dimakamkan di Gunung Puyuh, masyarakat hanya tahu bahwa makam tersebut adalah makam Ibu Perbu. Mereka baru mengetahuinya setelah H. Husna wafat pada tahun 1948 bahwa itu adalah makam Cut Nyak Dien.
Setelah Cut Nyak Dien wafat, Teuku Nana seorang bocah yang juga diasingkan bersamanya tetap tinggal di Sumedang dan menikah dengan gadis dari Cipada bernama Iyoh. Mereka mempunyai tiga orang anak bernama Maskun, Ninih, dan Sahria. Kemudian pada tahun1930 Teuku Nana, istrinya, dan anak – anaknya pulang ke Aceh dan tidak pernah kembali lagi ke Sumedang.
Setelah penduduk mengetahui makam Cut Nyak Dien, pada tahun 1962, Rd. Oemar Sumantri, anak Siti Hodijah, memberikan izin untuk upacara sederhana mengenang jasa – jasa Cut Nyak Dien ke sebelah barat. Pada tahun 1972, makam Cut Nyak Dien direnovasi oleh Pemerintah Daerah Sumedang dan pada tahun 1987, bangunan tersebut direnovasi kembali oleh Bapak Bustanil Arifin, Menteri Bulog bersamaan dengan mendirikan Meunasah (mushola) yang diresmikan oleh Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, Bapak Ibrahim Hasan.
Kini, makam Cut Nyak Dien sudah seperti makam yang dari sisi arsitektur tua tetapi memiliki unsure modern. Berbeda dengan makam – makam yang ada di sekitarnya, termasuk makam Pangeran Soegih yang jaraknya hanya beberapa meter dari makam Cut Nyak Dien. Jika makam Cut Nyak Dien letaknya berada di tengah – tengah makam para pengasuhnya, makam Pangeran Soegih yang merupakan mantan Bupati Sumedang yang ke – 7.
Sementara makam Cut Nyak Dien tidak terlalu berbau mistis, di makam Pangeran Soegih suasana mistis justru lebih kentara. Saat pertama kali memasuki makam Pangeran Soegih, kita disuguhkan dengan berbagai bunyi – bunyian hewan, selain itu bau dupa pun amat sangat menyengat.
Di makam Pangeran Soegih disediakan tempat menginap bagi para peziarah yang ingin berdoa. Tetapi kalau di makam Cut Nyak Dien tidak disediakan tempat menginap.
“Makam Cut Nyak Dien memang sengaja tidak disediakan tempat menginap karena di sini adalah makam pahlawan bukan makam raja. Kalau di makam raja memang disediakan tempat menginap agar para peziarah bisa dengan khusyuk berdoa untuk para raja di sini,” kata Dadang penjaga makam Cut Nyak Dien dan makam keluarga K.H Sanusi.
Dadang merupakan salah satu keturunan K.H Sanusi yang merawat Cut Nyak Dien. Setiap harinya dia bekerja dengan menjaga makam. Dia harus berjalan kurang lebih 3 kilometer dari tempat tinggalnya. Karena dia tinggal di sekitaran Masjid Agung yang juga merupakan tempat tinggal Cut Nyak Dien.
Selain menjaga makam terkadang dia juga menjaga rumah bekas tempat tinggal Cut Nyak Dien. Tidak jarang dia sering ditemui oleh sang pemilik rumah.
“Kalau mimpi sering sekali bertemu dengan Cut Nyak Dien, terkadang saya memanggilnya dengan sebutan nama tetapi kadang – kadang saya panggil ibu,” kata Dadang.
Menurut Dadang, tidak ada yang menyeramkan dari sosok Cut Nyak Dien. Pertemuannya dengan Cut Nyak Dien justru membawa berkah tersendiri untuknya. Karena setiap kali bertemu dia selalu diberikan nasihat – nasihat, khususnya untuk urusan ekonomi dan keluarga.
“Kalau di mimpi ibu kadang – kadang suka kasih nasihat soal masalah ekonomi, apalagi kalau ada yang punya usaha dia harus melakukan apa agar usahanya itu berhasil. Selain itu ibu juga suka kasih nasihat agar rumah tanggan menjadi harmonis sampai tua,” kata Dadang serius.
Dadang mengaku ketika menjaga rumah Cut Nyak Dien tidak pernah menemukan sosok Cut Nyak Dien. Dia justru pernah bertemu langsung dengan Cut Nyak Dien saat dirinya sedang menjaga makamnya.
“Waktu itu saya habis wirid di musala terus tiba – tiba saya melihat ada sosok berbaju putih sedang berdiri di depan makam Cut Nyak Dien. Dia itu tinggi dan langsing. Pas saya lihat ternyata itu Cut Nyak Dien, lalu saya langsung mengucapkan salam kepadanya. Setelah mengucapkan salam dia langsung hilang,” kata Dadang.
Dadang mengatakan sangat bersyukur memiliki kesempatan menjaga tempat – tempat penting yang pernah dihuni oleh Cut Nyak Dien. Dia mengaku, sejak tahun 1963 dia menjaga makam tersebut. Namun selama itu dia menjaga belum pernah ada seorang pun sanak keluarga asli dari Cut Nyak Dien yang datang untuk nyekar ke makam Cut Nyak Dien.
“Kalau orang – orang dari Aceh memang banyak yang pernah datang ke sini tetapi belum pernah ada keluarga kandungnya yang datang ke sini untuk mendoakan makam Cut Nyak Dien,” kata Dadang.
Meski begitu, Dadang mengaku sudah senang dengan keberadaan penduduk lain selain dari kota Aceh yang datang ke makam Cut Nyak Dien. Karena banyak juga dari mereka yang datang untuk berdoa. “Meski memang banyak dari mereka yang datang untuk minta ditambahkan rezeki atau dilancarkan usahanya,” kata Dadang.
Menurut Dadang hal tersebut meman sudah biasa dilakukan oleh para peziarah. Karena tradisi di Sumedang masih sangat kental dengan hal – hal mistik. “Kalau di Sumedang itu terkenalnya selain makanan tahu juga terkenal dengan dunia mistisnya. Kebanyakan orang – orang yang datang ke sini itu untuk berziarah, untuk meminta agar rezekinya atau usahanya dilancarkan. Banyak caranya termasuk datang ke makam, menginap sampai beberapa hari sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan,” kata Dadang.
Sementara untuk tempat tinggal Cut Nyak Dien, Dadang mengatakan sampai saat ini kondisi rumah masih tetap bagus seperti dulu. Apalagi, lanjutnya, rumah itu sekarang sudah direnovasi dan dijadikan sebagai museum. “Rumahnya sekarang jadi lebih bagus karena sudah dijadikan museum oleh pemerintah daerah Sumdedang,” kata Dadang.
Terkait banyaknya kisah – kisah mistis di rumah tersebut, Dadang mengatakan hanya pernah mendengarnya saja dari beberapa orang yang pernah mengunjungi rumah tersebut. Namun, dia sendiri mengaku belum pernah mengalaminya sendiri.
“Kalau di rumah Cut Nyak Dien saya belum pernah mengalaminya tetapi kalau mendengar ceritanya pernah. Yang paling sering dicerita yaitu adanya penghuni yang menghuni di mesin jahit yang biasa dipakai Cut Nyak Dien. Beberapa dari orang – orang yang pernah datang cerita kalau mereka pernah melihat mesin jahit itu bergoyang – goyang, seperti ada orang yang sedang menjahit,” katanya.
Namun Dadang meminta agar masyarakat tidak menghiraukan hal – hal seperti itu. Karena menurutnya, disetiap tempat apalagi yang mempunyai nilai sejarah pasti ada saja penghuninya.
“Kita boleh saja percaya tetapi jangan terlalu dilebih – lebihkan karena nantinya malah jadi musyrik dan hal itu sangat dibenci oleh Allah. Kita berdoa saja agar Cut Nyak Dien dan raja-raja di Sumedang bisa meninggal dengan tenang di sana,” kata Dadang serius.
Tanpa fisik yang sempurna, Cut Nyak Dien akhirnya diasuh dan dirawat oleh keluarga K.H Sanusi yang merupakan ulama Masjid Agung Sumedang. Dia pun tinggal di rumah K.H Sanusi yang berada tidak jauh dari makamnya.
Rumah berukuran 12 x 14 meter itu tampak sepi dari pengunjung. Rumah tersebut merupakan saksi sejarah kisah pahlawan wanita Indonesia, Cut Nyak Dien saat melewati hari – harinya sebagai orang yang diasingkan oleh tentara Belanda.
Di rumah tersebut, ada sebuah ruangan berukuran 3 x 5 meter yang menjadi kamar Cut Nyak Dien. Di kamar tersebut terdapat ranjang berukuran 2 x 2 meter. Selain itu, ada juga mesin jahit di dalam rumah tersebut. Menurut pengakuan beberapa orang yang berada di sana, konon mesin jahit tersebut suka berjalan sendiri.
“Katanya sih mesin jahitnya suka berjalan atau goyang – goyang sendiri, seperti ada orang yang sedang menjahit,” kata Dwi salah seorang yang pernah mengunjungi rumah K.H Sanusi yang juga merupakan rumah tempat Cut Nyak Dien dirawat.
Rumah itu berbentuk seperti rumah panggung. Di dalamnya sudah tidak banyak barang hanya benda – benda peninggalan yang dipakai oleh Cut Nyak Dien. Menurut Dadang, anak cucu keturunan K.H Sanusi benda – benda tersebut sengaja dipindahkan.
“Benda – benda yang lainnya masih digunakan oleh keluarga sehingga ada yang dipindahkan. Kalau yang ada di rumah hanya benda yang digunakan oleh Cut Nyak Dien saja,” kata Dadang.
Cut Nyak Dien merupakan pahlawan nasional dari Aceh Barat yang mendapat julukan Srikandi Indonesia. Dia anak dari Teuku Nanta Setia, sedangkan ibunya adalah bangsawan dari Lampagar. Cut Nyak Dien dilahirkan tahun 1848, dari kecil dia mendapat pendidikan agama dari lingkungan bangsawan – bangsawan Aceh.
Cut Nyak Dien ditangkap Belanda pada tanggal 6 November 1905 atas laporan panglima perangnya Teuku Panglaor. Laporan Panglima Panglaor sebenarnya bukan untuk mengkhianatinya tetapi dia merasa kasihan dengan kondisi Cut Nyak Dien karena Cut Nyak Dien sudah tidak bisa melihat (buta). Panglima meminta Belanda untuk tidak menyiksanya atau pun diasingkan.
Tetapi pada 11 Desember 1906, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang bersama panglima perangnya dan seorang anak laki – laki berumur 15 tahun bernama Teuku Nana. Pada waktu itu Gubernur Jenderal Belanda J.B.V Heuts yang menerima Cut Nyak Dien. Dia langsung menyerahkan Cut Nyak Dien kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmadja (Pangeran Mekah) yang merupakan anak dari Pangeran Aria Kusumah Adinata (Pangeran Soegih).
Untuk perawatan Cut Nyak Dien, Pangeran Mekah menyerahkannya kepada seorang ulama Masjid Agung Sumedang yang sudah mendapat gelar Penghulu bernama K.H Sanusi. Tetapi K.H Sanusi hanya satu tahu merawat Cut Nyak Dien karena beliau meninggal tahun 1907. Perawatan Cut Nyak Dien pun dilanjutkan oleh anak K.H Sanusi bernama H. Husna, sampai Cut Nyak Dien wafat pada tanggal 6 Novemper 1908 dan dimakamkan di lokasi Makam Keluara H. Husna di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Jawa Barat.
Kegiatan Cut Nyak Dien selama dalam perawatan H. Husna walaupun matanya sudah tidak bisa melihat, tapi beliau masih bisa memberikan pelajaran mengaji khususnya kepada ibu – ibu warga Kaum, umumnya masyarakat Sumedang. Sehingga Cut Nyak Dien mendapat julukan Ibu Perbu atau Ibu Ratu, sedangkan masyarakat Sumedang menyebutnya Ibu Suci.
Orang yang paling dekat dengan Cut Nyak Dien adalah Siti Hodijah yang merupakan anaknya H. Husna. Siti wafat pada tahun 1967 dan di makamkan di Gunung Puyuh. Cut Nyak Dien berkomunikasi hanya dengan K.H Sanusi, H. Husna, dan Siti Hodijah, itu pun dengan bahasa Arab.
Sebelum tahun 1950, tidak banyak masyarakat umum yang mengetahui bahwa Cut Nyak Dien dimakamkan di Gunung Puyuh, masyarakat hanya tahu bahwa makam tersebut adalah makam Ibu Perbu. Mereka baru mengetahuinya setelah H. Husna wafat pada tahun 1948 bahwa itu adalah makam Cut Nyak Dien.
Setelah Cut Nyak Dien wafat, Teuku Nana seorang bocah yang juga diasingkan bersamanya tetap tinggal di Sumedang dan menikah dengan gadis dari Cipada bernama Iyoh. Mereka mempunyai tiga orang anak bernama Maskun, Ninih, dan Sahria. Kemudian pada tahun1930 Teuku Nana, istrinya, dan anak – anaknya pulang ke Aceh dan tidak pernah kembali lagi ke Sumedang.
Setelah penduduk mengetahui makam Cut Nyak Dien, pada tahun 1962, Rd. Oemar Sumantri, anak Siti Hodijah, memberikan izin untuk upacara sederhana mengenang jasa – jasa Cut Nyak Dien ke sebelah barat. Pada tahun 1972, makam Cut Nyak Dien direnovasi oleh Pemerintah Daerah Sumedang dan pada tahun 1987, bangunan tersebut direnovasi kembali oleh Bapak Bustanil Arifin, Menteri Bulog bersamaan dengan mendirikan Meunasah (mushola) yang diresmikan oleh Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, Bapak Ibrahim Hasan.
Kini, makam Cut Nyak Dien sudah seperti makam yang dari sisi arsitektur tua tetapi memiliki unsure modern. Berbeda dengan makam – makam yang ada di sekitarnya, termasuk makam Pangeran Soegih yang jaraknya hanya beberapa meter dari makam Cut Nyak Dien. Jika makam Cut Nyak Dien letaknya berada di tengah – tengah makam para pengasuhnya, makam Pangeran Soegih yang merupakan mantan Bupati Sumedang yang ke – 7.
Sementara makam Cut Nyak Dien tidak terlalu berbau mistis, di makam Pangeran Soegih suasana mistis justru lebih kentara. Saat pertama kali memasuki makam Pangeran Soegih, kita disuguhkan dengan berbagai bunyi – bunyian hewan, selain itu bau dupa pun amat sangat menyengat.
Di makam Pangeran Soegih disediakan tempat menginap bagi para peziarah yang ingin berdoa. Tetapi kalau di makam Cut Nyak Dien tidak disediakan tempat menginap.
“Makam Cut Nyak Dien memang sengaja tidak disediakan tempat menginap karena di sini adalah makam pahlawan bukan makam raja. Kalau di makam raja memang disediakan tempat menginap agar para peziarah bisa dengan khusyuk berdoa untuk para raja di sini,” kata Dadang penjaga makam Cut Nyak Dien dan makam keluarga K.H Sanusi.
Dadang merupakan salah satu keturunan K.H Sanusi yang merawat Cut Nyak Dien. Setiap harinya dia bekerja dengan menjaga makam. Dia harus berjalan kurang lebih 3 kilometer dari tempat tinggalnya. Karena dia tinggal di sekitaran Masjid Agung yang juga merupakan tempat tinggal Cut Nyak Dien.
Selain menjaga makam terkadang dia juga menjaga rumah bekas tempat tinggal Cut Nyak Dien. Tidak jarang dia sering ditemui oleh sang pemilik rumah.
“Kalau mimpi sering sekali bertemu dengan Cut Nyak Dien, terkadang saya memanggilnya dengan sebutan nama tetapi kadang – kadang saya panggil ibu,” kata Dadang.
Menurut Dadang, tidak ada yang menyeramkan dari sosok Cut Nyak Dien. Pertemuannya dengan Cut Nyak Dien justru membawa berkah tersendiri untuknya. Karena setiap kali bertemu dia selalu diberikan nasihat – nasihat, khususnya untuk urusan ekonomi dan keluarga.
“Kalau di mimpi ibu kadang – kadang suka kasih nasihat soal masalah ekonomi, apalagi kalau ada yang punya usaha dia harus melakukan apa agar usahanya itu berhasil. Selain itu ibu juga suka kasih nasihat agar rumah tanggan menjadi harmonis sampai tua,” kata Dadang serius.
Dadang mengaku ketika menjaga rumah Cut Nyak Dien tidak pernah menemukan sosok Cut Nyak Dien. Dia justru pernah bertemu langsung dengan Cut Nyak Dien saat dirinya sedang menjaga makamnya.
“Waktu itu saya habis wirid di musala terus tiba – tiba saya melihat ada sosok berbaju putih sedang berdiri di depan makam Cut Nyak Dien. Dia itu tinggi dan langsing. Pas saya lihat ternyata itu Cut Nyak Dien, lalu saya langsung mengucapkan salam kepadanya. Setelah mengucapkan salam dia langsung hilang,” kata Dadang.
Dadang mengatakan sangat bersyukur memiliki kesempatan menjaga tempat – tempat penting yang pernah dihuni oleh Cut Nyak Dien. Dia mengaku, sejak tahun 1963 dia menjaga makam tersebut. Namun selama itu dia menjaga belum pernah ada seorang pun sanak keluarga asli dari Cut Nyak Dien yang datang untuk nyekar ke makam Cut Nyak Dien.
“Kalau orang – orang dari Aceh memang banyak yang pernah datang ke sini tetapi belum pernah ada keluarga kandungnya yang datang ke sini untuk mendoakan makam Cut Nyak Dien,” kata Dadang.
Meski begitu, Dadang mengaku sudah senang dengan keberadaan penduduk lain selain dari kota Aceh yang datang ke makam Cut Nyak Dien. Karena banyak juga dari mereka yang datang untuk berdoa. “Meski memang banyak dari mereka yang datang untuk minta ditambahkan rezeki atau dilancarkan usahanya,” kata Dadang.
Menurut Dadang hal tersebut meman sudah biasa dilakukan oleh para peziarah. Karena tradisi di Sumedang masih sangat kental dengan hal – hal mistik. “Kalau di Sumedang itu terkenalnya selain makanan tahu juga terkenal dengan dunia mistisnya. Kebanyakan orang – orang yang datang ke sini itu untuk berziarah, untuk meminta agar rezekinya atau usahanya dilancarkan. Banyak caranya termasuk datang ke makam, menginap sampai beberapa hari sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan,” kata Dadang.
Sementara untuk tempat tinggal Cut Nyak Dien, Dadang mengatakan sampai saat ini kondisi rumah masih tetap bagus seperti dulu. Apalagi, lanjutnya, rumah itu sekarang sudah direnovasi dan dijadikan sebagai museum. “Rumahnya sekarang jadi lebih bagus karena sudah dijadikan museum oleh pemerintah daerah Sumdedang,” kata Dadang.
Terkait banyaknya kisah – kisah mistis di rumah tersebut, Dadang mengatakan hanya pernah mendengarnya saja dari beberapa orang yang pernah mengunjungi rumah tersebut. Namun, dia sendiri mengaku belum pernah mengalaminya sendiri.
“Kalau di rumah Cut Nyak Dien saya belum pernah mengalaminya tetapi kalau mendengar ceritanya pernah. Yang paling sering dicerita yaitu adanya penghuni yang menghuni di mesin jahit yang biasa dipakai Cut Nyak Dien. Beberapa dari orang – orang yang pernah datang cerita kalau mereka pernah melihat mesin jahit itu bergoyang – goyang, seperti ada orang yang sedang menjahit,” katanya.
Namun Dadang meminta agar masyarakat tidak menghiraukan hal – hal seperti itu. Karena menurutnya, disetiap tempat apalagi yang mempunyai nilai sejarah pasti ada saja penghuninya.
“Kita boleh saja percaya tetapi jangan terlalu dilebih – lebihkan karena nantinya malah jadi musyrik dan hal itu sangat dibenci oleh Allah. Kita berdoa saja agar Cut Nyak Dien dan raja-raja di Sumedang bisa meninggal dengan tenang di sana,” kata Dadang serius.