Peninggalan bangunan kuna yang terbuat dari susunan batu berbentuk
Candi umumnya terbagi menjadi dua ragam, yaitu: ragam Jawa Tengah dan ragam jawa Timur. Ciri-ciri ragam Jawa Tengah ialah: bentuk bangunannya tambun, atasnya berundak-undak, puncak berbentuk ratna atau stupa, gawang pintu dan relug berhias Kalamakara, reliefnya timbul agak tinggi berlukiskan naturalis, letak candi di tengah halaman, menghadap ke timur, dan terbuat dari batu andesit.
Ciri-ciri ragam Jawa Timur, ialah: bentuk bangunan ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncak berbentuk kubus, makara tidak ada, relief timbul sedikit dengan lukisan simbolis menyerupai
wayang kulit, letak candi di belakang halaman, menghadap ke barat, kebanyakan terbuat dari bata.
Candi Brahma Nama candi di kompleks Candi Prambanan, terletak di sebelah selatan Candi Siwa. Didalamnya terdapat patung Brahma yang berkepala empat sebagai dewa pencipta alam. Dibawah patung Brahma terdapat sebuah sumur. Pada setiap dinding kamar candi terdapat batu yang menonjol yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu.
Candi Asu Nama candi yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, kabupaten magelang, propinsi Jawa tengah. Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung. Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi. Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
Candi Mendut Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kudu setelah Barabudur. Candi ini terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak sekitar 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Barabudur. Candi mendut bersifat Budhistis dan terkait erat dengan Candi Borobudur serta Candi Pawon. Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu kesatuan dan berada dalam satu garis lurus.
Candi Mendut juga tidak diketahui secara pasti tahun pembangunannya dan raja yang berkuasa saat itu. Namun J.G. de Casparis dalam disertasinya menghubungkan Candi Mendut dengan raja Indra, salah seorang raja keturunan Sailendra. Sebuah prasasti yang ditemukan di desa karangtengah berangka tahun 824 M yang dikeluarkan raja Sailendra lainnya yaitu Samarattungga, menyebutkan bahwa raja Indra ayah Samarattungga telah membangun sebuah bangunan suci bernama Venuvana (hutan bambu). Jika pendapat Casparis ini benar, maka Candi Mendut didirikan sekitar tahun 8000 M juga. Data lain yang dapat digunakan sebagai pertanggalan Candi mendut adalah ditemukannya tulisan pendek (bagian dari mantra Budhis) yang diduga berasal dari bagian atas pintu masuk.
Dari segi paleografis tulisan tersebut ada persamaan dengan tulisan-tulisan pendek pada relief Karmawibhangga di Candi Barabudur sehingga diduga Candi Mendut sezaman dengan Barabudur dan mungkin lebih tua.
Pada tahun 1834 Candi Mendut mulai mendapat perhatian meskipun mengalami nasib yang sama dengan candi-candi lainnya, yaitu dalam kondisi runtuh dan hancur. Hartman, seorang residen Kedu saat itu mulai memperhatikan Candi Mendut. Dalam tahun 1897 dilakukan persiapan-persiapan untuk pemugaran. Dari tahun 1901-1907 J.L.A. Brandes melangkah lebih maju dan berusaha merestorasi Candi Mendut dan kemudian tahun 1908 dilanjutkan oleh Van Erp meskipun tidak berhasil merekonstruksi secara lengkap.
J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi Mendutdibangun untuk memuliakan leluhur-leluhur Sailendra. Di bilik utama candi ini terdapat 3 buah arca yang menurut para ahli arca-arca tersebut diidentifikasi sebagai Cakyamuni yang diapit oleh Bodhisatwa, Lokeswara dan Bajrapani. Dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan disebutkan bahwa realitas yang tertinggi (advaya) memanifestasikan dirinya dalam 3 dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan Bajrapani. Sebagai candi yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut juga berisi cerita-cerita ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang yang bersumber dari Pancatantra dari India. Cerita tersebut antara lain adalah seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua ekor angsa dan di bawahnya dilukiskan beberpa anal gembala yang seolah-olah mengejek kura-kura tersebut. Oleh karena kura-kura tersebut emosional dalam menanggapi ejekan, maka terlepaslah gigitannya dari tangkai kayu yang dipegang sehingga terjatuh dan mati. Inti ceritanya adalah ajaran tentang sifat kesombongan yang akan mencelakakan diri sendiri.
Arah candi Mendut tidak tepat ke arah barat, tetapi sedikit bergeser ke arah barat laut. Luas bengunan keseluruhan adalah 13,7 x 13,7 meter dan tinggi sampai sebagian atapnya sekitar 26,5 meter.
Candi Nandhi Salah satu candi di kompleks Candi Prambanan terletak di deretan sebelah timur. Candi ini hanya mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat, tepat di depan jalan masuk ke Candi Siwa. Didalam candi ini terdapat patung seekor lembu jantan besar berbaring menghadap ke Candi Siwa. Lembu jantan ini disebut Nandi, yaitu kendaraan Siwa. Pada bagian lain dalam Candi Nandi terdapat pula dua patung, yaitu Dewa Surya, berdiri di atas kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda dan Dewa Candra, berdiri di atas kereta yang ditarik oleh sepuluh ekor kuda.
Candi Pawon Candi Pawon dipugar tahun 1903. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa Awu(=abu) mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur., akan tetapi casparismengartikan perabuan. Penduduk setempat juga menyebutkan candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata Sansekerta Vajra (=halilintar) dan anala (=api). Dengan mitologi India, Dewa Indra digambarkan bersenjatakan vajranala, sehingga apakah ada hubungannya dengan raja Indra seperti yang disebutkan dalam prasasti Karangtengah.
Di dalam bilik candi ini sudah ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati (=kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).Letak Candi Pawon ini berada di antara candi Mendut dan candi Barabudur, tepat berjarak 1750 m dari candi Barabudur dan 1150 m dari Candi Mendut.
Candi Watu Gudhig Watu Gudhig nama candi abad IX M, terletak sekitar 4 km sebelah barat daya Candi Prambanan. Tepatnya di pinggir sebelah timur sungai Opak atau sebelah barat jalan raya Prambanan dangan Piyungan. Nama Watu Gudhig juga merupakan nama baru yang diberikan oleh penduduk setempat karena batu-batu candi (umpak batu) terkena lumut dan warnanya berbintik-bintik sperti penyakit kulit (gudhig). Tidak jelas nama aslinya pada zaman dahulu.
Candi SukuhSebuah candi yang dibangun pada sekitar abad XV terletak di lereng gunung Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah . Dari permukaan air laut, ketinggiannya sekitar 910 M. Berhawa sejuk dengan panorama yang indah. Kompleks Situs purbakala Candi Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, dengan jarak 27 Km dari kota Karanganyar. Situs purbakala Candhi Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta “Yohson” ketika masa penjajahan Inggris.
Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candhi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim. Untuk mencegah kerusakan yang semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat pernah merehabilitasi Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi Sukuh seperti kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga tiga trap. Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura. Gapura-gapura itu amat berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah, apa lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunannya mirip candi Hindu dipadu dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara, yakni kebudayaan Megaliticum. Trap I Candi Sukuh menghadap ke barat.
Seperti yang sudah diutarakan, trap pertama candi ini terdapat tangga. Bentuk gapuranya amat unik yakni tidak tegak lurus melainkan dibuat miring seperti trapesium, layaknya pylon di Mesir (Pylon : gapura pintu masuk ke tempat suci). Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan raksasa” yakni sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong “(gapura raksasa memakan mansuia). Gapura dengan karakter 9, buta karakternya 5, mangan karakter 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M, menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini. Pada sisi selatan gapura terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut KC Vrucq, relief ini juga sebuah sangkalan rumit yang bisa dibaca : “Gapura buta anahut buntut “(gapura raksasa menggigit ekor ular), yang bisa di baca tahun 1359 Seperti tahun pada sisi utara gapura.
Menaiki anak tangga dalam lorong gapura terdapat relief yang cukup vulgar. terpahat pada lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina. Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab tidakmungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.
Boleh dikata relief tersebut berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”, yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia. Dalam bukunya Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan bahwa relief tersebut merupakan sengkalan yang cukup rumit yaitu : “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu”. Wiwara artinya gapura yang suci dengan karakter 9, Wiyasa diartikan daerah yang terkena “suwuk” dengan karakter 5, Anahut (mencaplok) dengan karakter 3, Jalu (laki-laki) berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359 Saka. Tahun ini sama dengan tahun yang berada di sisi-sisi gapura masuk candhi.
Trap Kedua Trap kedua lebih tinggi daripada trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah komis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman pra sejarah di Pasemah. Di latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan”( peralatan mngisi udara pada pande besi). Barangkali maksudnya agar api tungku tetap menyala. Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candhi sukuh ini.Pada bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor.
Inipun salah satu sengkalan yang rumit pula yang dapat dibaca : Gajah Wiku Anahut Buntut, dapat ditemui dari sengkalan ini tahun tahun 1378 Saka atau tahun 1496 M. Relief pada sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau. Trap Ketiga Trap ketiga ini trap tertinggi yang merupakan trap paling suci. Candhi Sukuh memang dibuat bertrap-trap semakin ke belakang semakin tinggi. Berbeda dengan umumnya candhi-candhi di di Jawa Tengah, Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candhi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang paling suci.
Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.
Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala. Sejumlah lima adegan yaitu : 1. Relief pertama menggambarkan ketika Dewi Kunti meminta kepada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun Sadewa menolak. 2. Relief kedua menggambarkan ketika Bima mengangkat raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku “Pancanaka” ke perut raksasa. 3. Relief ketiga menggambarkan ketika Sadewa diikat kedua tangannya diatas pohoh randu alas karena menolak keinginan “ngruwat” sang Bethari Durga. Dan sang Durga mengancam Sadewa dengan sebuah pedang besar di tangnnya untuk memaksa sadewa.. 4. Relief keempat menggambarkan Sadewa berhasil “ngruwat” sang Durga. Sadewa kemudian diperintahkan pergi kepertapaan Prangalas.
Disitu Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa 5. Relief kelima menggambarkan ketika Dewi Uma (Durga setelah diruwat Sadewa) berdiri di atas Padmasana. Sadewa beserta panakawan menghaturkan sembah pada sang Dewi Uma. Pada pelataran itu juga dapat ditemui soubasement dengan tinggi 85 cm, luasnya sekitar 96 M². Ada juga obelisk yang menyiratkan cerita Garudeya. Cerita ikwal Garudeya merupakan cerita “ruwatan” pula. Ceritanya sebagai berikut : Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga yang berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubahhitam Dewi Winata dapat diruwat sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa.
Demikianlah keterangan menurut kisah adhiparwa.. Pada sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh penguasa ghaib kompleks candi tersebut . Di dekat candi kecil terdapat arca kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika dewa Wisnu menjelma sebagai kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta prewita sari). Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh dalam candi untuk pengruwatan, yakni prasasti yang diukir di punggung relief sapi.
Sapi tersebut digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan kandungan sengkalan rumit : Goh wiku anahut buntut maknanya tahun 1379 Saka. Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada di punggung sapi yang artinya kurang lebih demikian : untuk diingat-ingat ketika hendak bersujud di kayangan (puncak gunung), terlebih dahulu agar datang di pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh Wiku anahut buntut 1379. Kata yang sama dengan ruwatan di sini yaitu kata : “pawitra” yang artinya pemandian suci. Karena kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk Pengruwatan , seperti yang sudah diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat di pastikan Candi Sukuh pada jamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan. Tetapi dengan melihat adanya relief lingga-yoni di gapura terdepan dan pada bagian atas candhi induk, tentulah candhi Sukuh juga sebagai lambang ucapan sukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan.yang mereka peroleh Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak” tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan roh-roh leluhur.
Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara pengruwatan yakni : a. Relief lingga-yoni di gapura pertama selain berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. b. Relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” sang Durga. c. Relief Garudeya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama dewi Winata. d. Prasasti tahun 1363 Saka dalam kalimat “babajang maramati setra hanang bango”. e. Prasasti tahun 1379 Saka di punggung lembu yakni kata “pawitra” yang berarti air suci (air untuk pengruwatan). Ikwal upacara “ngruwat” yang dipaparkan di sini sudah barang tentu berbeda dengan upacara ruwatan pada jaman sekarang yang biasanya dilakukan oleh seorang dalang sejati. Yang sering di sebut dalam masyarakat jawa dalang Kandha Buwana.
Dan ada anak yang diruwat pun mempunyai “sukerta” karena posisinya dalam keluarga misalnya: anak ontang-anting, uger-uger lawang, kembang sepasang,kedhana kedhini, sendhang kapit pancuran. Pancuran kapit sendang dan sebagainya; juga karena kebiasaan sehari-hari yang tidak kita sadari misalnya: menjatuhkan “dandang” (tanakan nasi), membuang sampah dari jendela,berjalan seorang diri diwaktu siang hari bolong, atau karena bawaan sejak lahir misalnya gondang-kasih, bungkus, kalung usus; atau karena waktu kelahirannya misalnya julung serap, julung wangi dan sebagainya. Anak-anak yang mempunyai sukerta ini diruwat oleh dalang sejati agar terbebas dari incaran Bethara Kala. Yang dimaksud ruwat di candi Sukuh jelaskah berbeda dengan ruwatan anak-anak sukerta. tersebut diatas, tetapi ruwatan yang melingkupi sebuah masyarakat dan berbagai permasalahan yang melilit kehidupan mereka.
Namun di sini perlu kita cermati keberadaan candhi Sukuh ini yang merupakan tempat peribadahan yang suci yang menjadi saksi atas keta`atan sebuah generasi dan keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-nilai kebudayaan dan peribadahan menjadi satu dalam wujud karya yang tiada ternilai harganya, maka picik bagi kita sebagai generasi pewaris bila tak ada niatan dalam hati kita untuk turut berbagi dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan kandungan yang tersimpan di dalamnya.